Minggu, 20 Januari 2019

Tentang Isu Kapan Menikah yang Menyebalkan Itu



Dalam beberapa waktu terakhir, rasa mual memuncak tatkala saya mengontak seorang teman lama yang kebetulan pernah satu kantor. Sebut saja teman saya ini Juki. Juki merupakan seorang pria yang memutuskan untuk menikah muda. Seingat saya, Juki menikah saat umurnya baru 23 tahun. Ia mendapatkan istri yang tiga tahun lebih muda darinya. Sebenarnya, Juki mengundang saya untuk datang ke resepsi pernikahannya. Namun karena satu dan lain hal, saya berhalangan datang. 

Satu tahun, kurang lebih, saya tidak kontak dengan Juki, saya coba membuka pembicaraan. Awalnya menyenangkan. Kita bertukar kabar, aib-aib baru, ghibah mantan bos dan lainnya. Namun semakin lama saya muak dengan obrolan kami karena Juki tiba-tiba menanyakan kapan saya menikah dan segera menyusulnya. Jika anda-anda menganggap pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan standar, basa-basi dan mungkin memotivasi orang yang belum menikah, anda perlu memasukan pemikiran anda ke kulkas secepatnya. Sungguh. 

Selain Juki, baru-baru ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menganjurkan usia menikah yang ideal adalah 21-25 tahun. Mereka beranggapan pasangan dengan rentang usia tersebut sudah memiliki kesiapan yang matang dari fisik, psikologis untuk menghadapi kehamilan, melahirkan sampai membesarkan anak. Menyebalkan bukan?

Oi mate, pernikahan tidak semudah anda sudah memiliki pasangan yang didamba, mengumpulkan uang serta nyali untuk bertemu calon mertua. Ada beberapa faktor menyebalkan yang membuat saya pribadi dan beberapa rekan dekat, enggan untuk menikah dini. Ada berbagai agenda yang belum selesai. Seperti traveling, mengumpulkan sepatu, makan enak dan lain sebagainya Jadi, buat apa menikah cepat-cepat saat target belum rampung direalisasikan? Jika menikah hanya untuk mencari teman hidup, saya cukup yakin anda yang menikah muda tak punya teman-teman yang menyenangkan untuk sekedar berbagi. 

Jika anda menganggap menikah adalah ibadah, benar memang. Namun, bukankah ada ibadah-ibadah lain terbaik yang bisa dirampungkan lebih dulu dan diperbaiki kualitasnya misalnya shalat tepat waktu, pergi ke gereja, wihara, pura dan lain sebagainya. Higga turut aktif menyumbangkan sebagian harta di jalan tuhan. Selain itu masih banyak lagi hal lainnya bukan selain menikah? Apakah anda-anda sudah merampungkan dan menyempurnakan ibadah-ibadah tersebut?

Dan, yang terparah, jika anda berpikir menikah muda hanya untuk mengejar kepuasan batiniah, anda sudah pasti tak tahu cara untuk bersenang-senang dengan mudah, praktis, tak merepotkan serta tidak mengikat. Amat disayangkan sekali, komunikasi anda terhadap lawan jenis bisa dipastikan cukup buruk.

Lagipula, seandainya menikah muda memang seindah yang dibayangkan, mengapa masih banyak mamah muda berkeliaran di setiap tempat dan feed-feed sosial media lainnya?

Sabtu, 30 Juni 2018

Ronaldo yang Sedikit Lebih Berguna Dibandingkan Messi


Setelah cukup lama tak berkutat dalam dunia tulis menulis karena satu dan lain hal, saya tertarik untuk menulis lagi guna melatih sendi kata yang kian pudar oleh matematika sederhana yang kini menjadi keseharian demi mengangkat harkat dan martabat seorang pria.

Ya, saya tertarik untuk menuliskan sepakbola, dimana Messi dan Ronaldo menjadi dua sosok yang menarik untuk didedah lebih lanjut. Membicarakan Messi atau Ronaldo memang tak ada habisnya. Namun percayalah, mengkomparasikan mereka berdua merupakan hal yang mengasyikan. Dan, topik yang paling hip untuk dibahas adalah membahas kiprah keduanya yang kebetulan sama-sama bermain guna membela bangsa di Piala Dunia 2018.


Messi, sebagaimana kita tahu merupakan mitos dalam sepakbola, terkhusus Barcelona. Tak terhitung sudah berbagai gelar direngkuh baik secara kolektif maupun personal. Tak ada yang perlu meragukan kehebatan Messi di klub Katalan tersebut. Namun untuk Argentina, Messi adalah banter yang siap digulirkan kapan saja.

Untuk negaranya, tak ada sesuatu yang bisa dipersembahkan Messi. Tak percaya? Gubrik saja Google dan kawan-kawannya guna memudahkan anda mencari prestasi La Pulga bersama Argentina. Hasilnya sudah pasti nol besar. Messi benar-benar tak berguna untuk Argentina. Siapapun pemain dan pelatih yang mendampinginya, bagaimanapun skema yang diterapkan La Albiceleste, siapapun pelatihnya, selama tak ada Xavi atau Iniesta, Messi akan menjadi bercandaan yang tak ada habisnya.

Bercandaan tersebut pun kembali tersaji, yang paling anyar, Argentina berhasil dibungkus pulang oleh Prancis di laga yang berlangsung ketat Sabtu (30/6) tadi. Artinya kans si pemilik nomor 10 ini membawa negaranya berprestasi di tahun genap ini tertutup sudah.

Sementara sang "rival" dari semenanjung Iberia sana juga meraih berbagai prestasi yang tak kalah apik dengan Messi. Bahkan Ronaldo berhasil meraih gelar prestis baik secara tim maupun pribadi bersama United dan Real Madrid. Sesuatu yang mungkin saja tak bisa diraih Messi apabila ia hengkang dari Barcelona. Dari level klub, kita dapat melihat Ronaldo sudah unggul dari kompetitornya tersebut.

Bahkan untuk negaranya sendiri, Ronaldo berhasil menorehkan prestasi yang cukup baik dengan membawa Portugal meraih Euro 2016 lalu. Disini Ronaldo jelas sudah unggul 2-0 dari Messi. Spesialnya, CR7 tak membutuhkan patner khusus layaknya sang rival untuk mendongkrak level permainan di level tim nasional. Bahkan jika kita tak lupa, Ronaldo juga sempat menjadi pelatih dadakan kala Portugal mengandaskan perlawanan Prancis di Final Euro dua tahun lalu. Ibarat pertandingan Wwe, Ronaldo adalah Brock Lesnar yang sudah memberikan tiga kali suplex City kepada Messi. Ngehe memang. Namun begitulah kenyataannya.

Meski Portugal bernasib sama seperti Argentina yang gugur pada babak 16 besar di Piala Dunia semalam, Ronaldo masih berhak untuk pongah karena sudah beberapa langkah lebih maju dari Messi.

Dari sini kita bisa tahu, Ronaldo sedikit lebih berguna untuk negaranya ketimbang Messi.

Dari sini pula, seharusnya kita bisa menilai siapa yang terbaik bukan?

Ah sudahlah, debat kusir ini harus dihentikan. Intinya The Libertines bakal main di Jakarta pada September nanti dan saya harus siapkan uang dan menghapalkan lagu dari ketiga album mereka guna bisa sing along di konser mereka nanti. Semoga tidak mengecewakan.


Minggu, 17 April 2016

Selendang Mayang yang Menggugah Selera Itu




Berkunjung ke kawasan kota tua merupakan sarana rekreasi yang cukup menyenangkan. Anda tak perlu mengeluarkan uang untuk sekedar menikmati suguhan pemandangan disana. Sebagai gantinya mata anda akan dimanjakan oleh arsitektur tempo dulu khas jaman kolonial yang sudah pasti mampu membuat siapapun yang memandangnya terpesona.

Jika sudah puas memandangi artefak masa lalu di kota tua, tak lengkap jika anda tak mencicipi Es Selendang Mayang. Ya, salah satu makanan khas Betawi ini sekarang sudah sangat jarang ditemui. Namun bagi para pecinta kuliner nusantara, es legendaris ini tak boleh dilewatkan begitu saja.

Selendang mayang sendiri sangat jauh dari gambaran es konvensional yang berbahan dasar susu dan dibekukan dalam suhu rendah. Es yang satu ini terdiri dari tumpukan kue lapis yang dibaurkan dengan santan, potongan nangka, agar-agar, gula aren, sirop plus es batu. Dari segi presentasi, tekstur warna-warni mampu membelai kedua bola mata dengan keanggunannya. Sementara dari segi rasa, gurihnya kue lapis dan manisnya sirop serta gula aren akan membuat lidah anda lemas seketika saat melahapnya dari suapan pertama sampai akhir.

Untuk seporsi selendang mayang di kota tua dibandrol dengan harga kurang dari sepuluh ribu rupiah. Sangat disarankan untuk mengonsumsi es ini pada siang hari saat matahari sedang tinggi-tingginya bersinar. Oh iya, jangan coba-coba membeli selendang mayang pada malam hari ya. Karena anda akan kesulitan menemui penjualnya.

Minggu, 03 April 2016

Repetoar Silampukau - Bermain di Cikini



30 & 31 Maret 2016
Teater Kecil

Taman Ismail Marzuki
Jakarta
Foto oleh: Yose Riandy


Repetoar
Pasca mengenal Silampukau pertengahan Februari lalu, rasa cinta muncul begitu saja. Cinta memang tak mengenal alasan apapun. Sejak saat itu, hampir setiap hari saya selalu mendengarkan album “Dosa, Kota dan Kenangan” milik duo kota Pahlawan ini melalui perangkat mp3 hasil unduhan gelap. Cita rasa musik folk yang dibalut dengan lirik bedasarkan perspektif personal tentang kehidupan kota Surabaya menjadi bumbu yang cukup sedap untuk diperdengarkan. Sebenarnya, apa yang disampaikan Silampukau tentang balada perkotaan bukan hal baru, Bangkutaman pernah menyampaikan hal mengenai yang sama mengenai kehidupan Jakarta pada album Ode Buat Kota beberapa tahun lalu. Yang membedakan dua moniker tersebut hanyalah pemilihan tema dan tempat, kehidupan di Jakarta dan Surabaya.
Mengunduh mp3, apalagi yang diunduh adalah musisi independen adalah dosa besar. Sebenarnya saya ingin memiliki cakram padat Silampukau. Namun apa daya, uang saku terlanjur habis untuk kepentingan kuliah dan melamar pekerjaan. Menurut seorang teman, mengapresiasi musik tidak melulu harus membeli rilisannya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai apa yang dihasilkan. Untuk itu, satu-satunya cara agar menebus dosa saya adalah menonton pertunjukan live mereka. Semoga dosa ini terampuni, Gusti.
Kebetulan, pertengahan Maret lalu, Silampukau akan singgah di Jakarta. Mereka akan mentas di Music Gallery seri keenam. Namun harga tiket membuat saya ciut. Hal ini karena ada dua band luar, Panama dan Last Dinosaur tampil disana. Namun setelah mencari tahu seluk beluk kedua band tersebut, saya membatalkan menonton. Ketidaktahuan musik yang disuguhkan oleh para penampil serta tidak selera terhadap musik dua grup musik asing tersebut menjadi alasan sahih. Adalah bunuh diri yang tak artistik jika saya memaksakan hadir demi alasan eksistensi hadir di skena independen.
Kabar baik kembali tiba, Eki dan Kharis kembali akan hadir di Jakarta di penghujung Maret. Akhir bulan adalah hal terindah bagi siapapun, termasuk saya. Isi dompet lak lagi harus nelangsa. Berhubung waktunya tepat, saya mengajak dua orang teman untuk menonton pertunjukan musik Silampukau. Duo kepondang ini singgah kembali ke Ibukota dengan konser tunggal, “Bermain di Cikini.” Tiket dibandrol dengan harga seratus ribu per orang untuk satu hari pertunjukan.
Anjir mahal juga yak tiketnya, itu (pas nonton) dapet apaan aja?” Tutur seorang teman kepada saya. Pertanyaan ini membuat saya harus garuk-garuk kepala untuk menjawabnya. Pasalnya beberapa waktu lalu, ia hadir ke peluncuran album band Rock and Roll asal Jakarta dengan tiket “hanya” setengah harga dari harga yang ditetapkan penyelenggara “Silampukau - Bermain di Cikini.” Ia mendapatkan satu keping kaset tape beserta bir dingin. Hal ini tentu saja menjadi standar acuan menonton musik baginya. Jika seratus ribu tak mendapat apa-apa, ia tentu akan kecewa berat. Namun saya berhasil meyakinkannya untuk datang menonton.
Harga tiket seratus ribu untuk pertunjukan musik folk lokal adalah sebuah keniscayaan. Folk, sebagaimana digariskan adalah musik yang ditunjukan kepada kaum kelas menengah kebawah. Musik ini awalnya adalah komposisi yang diciptakan untuk mengusir kebosanan saat berutinitas. Namun pasca Stivell dan Dylan, semua berubah. Folk menemukan sisi komerisilnya melalui lirik perlawanan, protes dan aspek sosial sebagai nilai jual utamanya. Selain itu beberapa faktor yang menyebabkan harga tiket menjadi cukup “wah” bagi kalangan marjinal seperti saya adalah para hipster dan mahalnya sewa gedung di Jakarta.
 Hipster, sebagaimana digambarkan secara umum adalah orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang, atau lebih gampangnya disebut anti-mainsterm. Ya, Silampukau sendiri merupakan moniker yang bisa dibilang berbeda. Jika kebanyakan kelompok folk lokal masa kini memilih tema tentang hujan, sore hari, dan hangatnya senja. Mereka membawakan hal yang agak berbeda, yakni tentang kehidupan sosial di kota metropolitan. Selain itu, profil mereka juga terbilang lumayan tinggi. Rolling Stone Indonesia meletakan “Dosa, Kota dan Kenangan”  di posisi ketiga sebagai album Indonesia terbaik di tahun 2015, tepat dibawah “Teriakan Bocah” milik Kelompok Penerbang Roket (KPR) dan “Taifun” Barasuara. Maka, jika menonton pertunjukan Barasuara/KPR terlalu mainsterm, Silampukau adalah anti-tesis dari kedua band tersebut. Karena hipster sendiri merasa cenderung bersifat underdog. Ha.
Atas dasar underdog dan kepopuleran duo asal Surabaya ini (mungkin, sekali lagi, mungkin) membuat penyelanggara melaksanakan “Silampukau - Konser di Cikini” selama dua hari. Terlebih lagi, seluruh tiket yang berjumlah sekitar 400 lembar yang dipersiapkan untuk pertunjukan dua hari tersebut sold out. Hal ini merupakan pencapaian yang cukup spektakuler untuk sebuah konser tunggal musisi sidesterm yang tengah menanjak namanya.
Selain itu faktor hipster, mahalnya pertunjukan Silampukau bisa jadi didasari pemilihan venue acara. Sudah bukan rahasia umum jika mencari tempat pertunjukan musik yang memupuni di Jakarta merupakan barang langka. Jikapun ada, harga yang ditawarkan bisa dibilang lumayan. Seorang teman pernah berujar kepada saya, salah satu klien di kantornya kesulitan untuk mencari venue untuk menggelar sebuah event di Jakarta. Untuk mengakomodir kelancaran pertunjukan, sebuah gedung teater kelas premium di Cikini menjadi gelaran perdana Eki, Kharis dan kawan-kawan untuk konser tunggal perdananya di Jakarta. Hal ini juga bisa dijadikan alasan mengapa harga tiket duo kepondang ini menjadi cukup lumayan bagi pengangguran seperti saya. Ya sudahlah. Setidaknya portofolio menonton gelaran musik di tempat bagus saya bertambah ke arah yang lebih baik.
***
Saya bersama dua orang teman memilih untuk menonton di hari kedua. Tak ada alasan khusus untuk itu. Menuliskan permainan Silampukau di atas panggung adalah buang-buang waktu. Mereka tampil tanpa saat mengeksekusi setiap materi yang dibawakan. Saya hanya ingin membahas bagaimana keadaaan konser di lokasi.
Teater Kecil dipenuhi oleh riuh rendah manusia. Bisa dikatakan yang hadir disana merupakan golongan kelas menengah ke atas. Hampir semua orang nampak modis dengan busana semi premium. Mungkin hanya saya dan kedua teman yang kurang enak dipandang. Dari sisi manapun, kami kalah telak. Cara berpakaian, good looking, bau badan, segalanya. Untung saja harga tiket setara satu dengan yang lainnya. Jika tidak, bisa dipastikan kami selesai.
Keterlambatan seorang teman juga memaksa kami untuk duduk di balkon. Leher terasa sakit jika terus melihat pertunjukan yang letaknya di bawah. Penderitaan belum berakhir disitu, beberapa perempuan di kursi belakang memutuskan pindah ke depan untuk melihat lebih jelas penampilan di bawah. Dengan angkuhnya mereka menghalangi pandangan saya dan rekan-rekan. Wajah dan tubuh mereka menghalangi surga yang di depan mata. “(Bayar) cepe cuma buat liat komuk orang doang nih? Mana kaga dapet ape-ape !!!.” Gerutu seorang teman.
Setelah beberapa lagu, Silampukau memutuskan untuk memberi jeda. Para penonton berhamburan keluar Teater. Sesi merokok dan minum digelar tanpa dikomando. Si penghalang kami tadi juga melakukan hal yang sama. Saya dan seorag teman duduk di pelataran. Kami berbincang singkat sambil menghembuskan rokok, “Folk main di tempat kayak gini aneh ye.” Tuturnya kepada saya. Obrolan berlanjut dengan santainya. Seorang wanita di sebalah saya bicara kepada temannya, “Dari tadi gua ngga ngerti mereka (Silampukau) main apaan.”